Jakarta- Gramedia Pustaka Utama (GPU) menerbitkan novel ' Dua Garis Biru '. Cerita yang dinovelisasi oleh Lucia Prioandarini bakal rilis pada 22 Juli 2019 mendatang. Sudah nonton film Dua Garis Biru? Yuk resapi kisah Dara & Bima dalam medium yang berbeda, kali ini dengan membaca," tulis GPU, dilihat detikHOT, Senin (15/7/2019). DuaGaris Biru menceritakan pentingnya pendidikan seks terutama bahaya akan seks bebas. Dalam film yang dirilis pada 2019 lalu ini juga menjelaskan realitas pernikahan dini yang masih dianggap tabu sebagian kalangan masyarakat Indonesia. Pemain film Dua Garis Biru Angga Yunanda, Zara JKT 48, dan Rachel Amanda berpose saat berkunjung di kantor AssalamualaikumNama AA MaulanaKelas: XI Mipa 5Di video ini yaitu tentang meresensi sebuah buku novel yang berjudul dua garis biru dan juga isi, kelebihan, k FilmDua Garis Biru baru saja dirilis pada tanggal 11 Juli kemarin. Film garapan sutradara Gina S. Noer tersebut berhasil mematahkan reaksi negatif segelintir orang yang menganggap film tersebut terlalu gamblang menceritakan dinamika persoalan remaja. Padahal, film tersebut diangkat dari permasalahan yang kerap terjadi di sekeliling kita, yaitu permasalahan pernikahan dini. DuaGaris Biru/Starvision Plus. Gue pribadi sih menikmati film ini dan bisa merasakan bagaimana kebimbangan, kegelisahan, sekaligus emosi yang coba dimainkan oleh para pemeran di dalam film ini. Mulai dari sosok para orangtua yang dibawakan oleh Dwi Sasono dan Lulu Tobing (orangtua Dara) serta Cut Mini dan Arswendy Bening Swara (orangtua Bima). NovelDua Garis Biru Bacaan yang Ringan dan Mengedukasi. Novel yang ditulis oleh Lucia Priandarini yang diadaptasi dari naskah sekenario Dua Garis Biru oleh Gina. S Noer sangat enak dinikmati. Halamannya juga tidak banyak, dan dibaca sekali duduk. Konfliknya besar memang, tetapi alur penyelesaiannya membuat saya ingin lekas selesai membaca. . – Trailer Dua Garis Biru sebenarnya sudah menunjukkan inti cerita. Hanya ada beberapa pesan yang kuat dalam film yang diperankan oleh Dara Zara JKT48 dan Bima Angga Aldi Yunanda. Awalnya film ini seperti film drama kebanyakan. Menunjukkan kegiatan anak sekolah, rumah orangtua, dan pekerjaan sehari-hari dalam rumah. Tak lama, setelah scene dalam ruangan kelas. Bima ikut ke rumah Dara yang hanya ada asisten rumah tangga. Di sana, Bima bermain-main dengan Dara di kamarnya. Seperti perempuan kebanyakan yang baru berumur 20an, Dara juga pencinta Korea. Dalam kamarnya banyak sekali poster-poster boy band yang digandrungi anak muda. Selain poster, ia juga menempelkan kertas bertuliskan huruf Korea dan artinya di sebuah benda. Dari sini sudah terlihat, kalau Dara seorang perempuan yang suka belajar hal-hal yang baru. Akhirnya di kamar inilah terjadi pemantik konflik yang akan memicu lahirnya konflik baru dalam film. Usai didandani seperti artis Korea oleh Dara, Bima khilaf dan tidur bersama pacarnya. Sekolah tetap berjalan setelahnya. Sekilas tidak ada yang aneh, tetapi seperti film-film sinetron yang ada di Indonesia, ada adegan ingin muntah oleh Dara di sebuah warung sari laut bersama teman-temannya. Belakangan, dari sini, Dara dan Bima curiga kalau ada yang aneh. Betul, setelah tes kehamilan, terbukti Dara hamil. Anak sekecil mereka sudah diberi tanggung jawab untuk mengurus jabang bayi. Lucunya, sewaktu ingin membeli test pack, Dara malu. Sama seperti Bima. Akhirnya, mereka memesan ojek online untuk membeli test dan beberapa kerat roti. Ojek itu ngetem hanya beberapa langkah dari super market tempat mereka belanja. Dara dan Bima juga menunggu pesanan tak jauh dari tempat belanja tersebut. Tak butuh waktu lama, perut Dara kian hari kian membesar. Selama proses menunggu momen itu, film yang disutradarai oleh Ginatri S. Noer ini memberikan pelajaran yang penting buat pemuda dan pemudi. Pertama, dalam kondisi yang sulit itu, Dara masih sempat berpikir untuk merengkuh pendidikan setinggi-tingginya. Ia masih punya mimpi untuk kuliah di Korea. Ada satu percakapan yang menarik saya kira, ketika di kamar, Dara berbicara kepada Bima yang bunyinya kira-kira seperti ini, “saya tidak mau Bapak dari anak saya itu tidak pintar. Meski ia pekerja keras, ia juga harus bisa mendidik anaknya nanti.” Percakapan ini dimulai saat Bima bilang kepada Dara kalau gen dan intelegensi seorang anak, didominasi dari ibu. Jika ibunya pintar, maka otak anaknya juga tak jauh dari tingkat kecerdasan ibunya. Film ini kuat untuk memacu perempuan-perempuan bahwa pendidikan saat usia dini itu penting. Perempuan harus mengutamakan pendidikannya terlebih dahulu. Inilah yang menjadi perdebatan nantinya. Lahir konflik baru dari sini. Bagi saya, itu sudah benar. Perempuan harus berpendidikan dulu. Perkara akan menghadapi realita yang berbeda, itu urusan belakangan. Apa ruginya coba kalau kita berhasrat tinggi saat muda untuk terus-menerus belajar? Perempuan harus bisa bersaing dengan lelaki dalam bidang apa saja. Ini yang bisa ditonjolkan dalam Dua garis Biru. Sementara Bima mengajarkan penontonnya, meski memang kekurangan dalam hal pendidikan dan nilai-nilainya di sekolah lebih rendah dari Dara, tetapi Bima seorang yang bertanggung jawab. Tak ada kekerasan lelaki selaiknya dalam berita-berita yang marak terjadi, kalau tahu pasangannya hamil di luar nikah. Hanya ada perdebatan kecil, tetapi tak sampai ringan tangan kepada pasangannya. Di hadapan orangtua Dara Lulu Tobing dan Dwi Sasono, dengan tatapan yang percaya diri, Bima berjanji akan bertanggung jawab untuk Dara dan calon anaknya. Meski ia masih sekolah, ia memilih untuk bekerja sambilan. Dara sempat menyodorkan sebuah pilihan, kalau lebih baik ia melanjutkan dulu sekolahnya. Berpikir tentang masa depannya. Tetapi Bima bertekad untuk menjadi bapak seutuhnya, banti tulang untuk memenuhi hak dan kewajiban istrinya. Jika dalam agama seks bebas sudah dilarang. Maka di film ini, ditunjukkan mengapa seks bebas itu dilarang. Semua tergantung pilihan masing-masing. Mau melakukannya atau tidak. Paling tidak, film ini memberikan gambaran, kalau pasangan perempuan berujung hamil di luar nikah, maka dampak yang ditimbulkan akan sangat besar. Apalagi, jika terjadi saat masih muda, akan banyak hal yang harus dikorbankan. Dari film ini saya tahu, bukan perempuan saja yang dirugikan melainkan lelaki juga. Keduanya. Saya mempelajari dari satu scene saat Ibu Bima Cut Mini berteriak kepada Ibu Dara, kalau bukan Dara saja yang dirugikan. Sebab, Ibu Dara ngotot kalau anaknya yang paling dirugikan dalam kejadian ini. “Anak kita,” ujar Ibu Bima di ruang uks sekolah saat tahu Dara hamil. Cut Mini memainkan peran sebagai orang yang realistis dan tidak tampak moralis dengan menyalahkan banyak pihak. Tidak. Ia menerima konsekuensi dari sikap anaknya. Bagi saya, saat film ini terlalu berat dalam membela perempuan. Cut Mini muncul seperti bertepuk tangan di depan wajah kita, kalau lelaki juga dirugikan. Anggapan kalau efek seks bebas hanya merugikan perempuan saja, dibantah mentah-mentah oleh Cut Mini. Kesetaraan. Film ini menyuguhkan banyak sekali konflik dan penyelesaiannya. Film ini sarat pendidikan terlebih seks edukasi. Saya mengambilnya dari pandangan gender. Jadi sepenuhnya salah, jika film ini dicekal karena dianggap berbau pornografi, apalagi belum ditonton. Saya memberi film ini angka 5/10. Jakarta - Dalam film Dua Garis Biru, Dara dan Bima adalah dua tokoh utama kita. Pasangan ini tipikal dua remaja yang jatuh cinta pada umumnya. Ke mana-mana bersama, saling membela, dan tak ragu menunjukkan perhatian di depan teman-temannya. Ajakan Dara kepada Bima untuk ikut pulang ke rumahnya pada suatu hari, menjadi titik mula petaka mereka berdua dan hamil. Kemesraan yang biasanya ditunjukkan sehari-hari di sekolah perlahan pudar. Dua sejoli ini masih menyembunyikan hal tersebut sampai akhirnya, rahasia tak bisa lagi dikubur. Kekagetan dan kekecewaan luar biasa hadir dari orang tua keduanya. Dara, lahir dari keluarga cukup berada. Ibunya, Rika Lulu Tobing wanita karier yang begitu perfeksionis dan sudah menyiapkan segala hal bagi anaknya serta seorang ayah pebisnis. Lain dengan Bima yang berasal dari keluarga sederhana. Ibunya penjual pecel Cut Mini, bapaknya pensiunan, mereka tinggal di perkampungan yang jauh dari gedung-gedung tinggi di para orang tua menghadapi masalah ini pun berbeda. Keluarga Bima boleh dibilang cukup religius. Perbuatan yang dilakukan Bima disebut sebagai dosa. Cukup butuh waktu bagi sang ibu untuk akhirnya bisa lebih tenang dan memahami, apa yang terjadi pada anak bungsunya itu tetap saja ada kesalahan dari bagaimana ia berkomunikasi dengan anaknya. Setidaknya dialog-dialog itu hadir dan menghangatkan. Sebuah kontemplasi, bukan diisi khotbah dan pertobatan dengan pihak keluarga Dara. Mengetahui putri sulungnya yang cerdas dengan sejuta mimpi itu hamil, seketika bayangan itu runtuh lantaran membayangkan kehamilan sontak merusak masa perbedaan kelas ini pula muncul bagaimana penentuan keputusan hadir. Bagaimana satu persatu keputusan yang diambil bermula dari luapan emosi, perlahan digiring untuk membuka pintu dialog yang lebih lebar dan Dara dan Bima mengingatkan kita pada Juno 2007, gadis SMA pecinta musik rock yang positif hamil. Juno juga bukan remaja yang sembarangan dalam bergaul. Namun, tentu saja Dara dan Juno dua remaja berbeda mengingat banyak unsur yang melekat dalam kultur keduanya. Tapi bagaimana Dara dan Juno mencoba menerima perubahan fisik, menghadapi segala persoalan dalam kondisi hamil, tanpa keluhan adalah luar Dara mempertahankan kehamilannya membuat dirinya harus berhenti dari sekolah. Kritik ini pun disampaikan Gina lewat pernyataan keras Rika kepada pihak sekolah mengapa hanya putrinya yang bisa dapat sangsi sedangkan anak laki-laki masih bisa melanjutkan sekolah. Dalam film ini tak begitu ditunjukkan bagaimana kehamilan seorang remaja mengundang sinis atau perbincangan miring di lingkungan mengemas kisah Dara dan Bima bukan sebagai tragedi. Drama keluarga ini diramu kental dengan nuansa keseharian. Kritik-kritik sosial pun diluncurkan demikian halus dari berbagai dialog juga adegan-adegan, serta beberapa analogi. Kepolosan dan cara Dara serta Bima mencoba lebih dewasa dengan naifnya menghadapi masalah mereka terasa natural—sebagaimana cara berpikir anak SMA. Bima yang dasarnya tak terlalu pandai—berkebaikan dari Dara—juga kerap menunjukkan kenaifannya di depan banyak orang. Termasuk soal penafsirannya terhadap makna dua garis sinilah Ginatri S. Noer atau Gina S. Noer menyajikan sebuah cerita. Gina menyodorkan sebuah masalah dan juga menawarkan cara. Betapa anak remaja melakukan kesalahan yang cukup fatal, orang tua tetap punya peran penting. Bukan lantas menyalahkan dan merutuki bencana. Gina menjalin cerita yang begitu solid hingga yang sudah kuat tersampaikan dengan baik lewat peran para aktor muda dan senior yang luar biasa. Sebut saja Adhisty Zara, Angga Yunanda, Cut Mini Theo, Arswendy Bening Swara, Dwi Sasono, Lulu Tobing, Rachel Amanda, dan Maisha Kanna. Dua Garis Biru adalah debut Gina sebagai sutradara. Selama ini namanya sudah malang melintang di banyak film sebagai penulis cerita. Dua Garis Biru menjadi sebuah film remaja-keluarga yang menggedor orang tua untuk tak menutup pintu dari masalah anak-anak Garis BiruSutradara Gina S. NoerProduksi Wahana Kreator, StarvisionPenulis Gina S. NoerPemain Adhisty Zara Zara JKT48, Angga Yunanda, Cut Mini Theo, Arswendy Bening Swara, Dwi Sasono, Lulu Tobing, Maisha Kanna, Rachel Amanda, Asri WelasDurasi 113 menitKlasifikasi LSF 13+Rilis di bioskop 11 Juli 2019 Origin is unreachable Error code 523 2023-06-16 112124 UTC What happened? The origin web server is not reachable. What can I do? If you're a visitor of this website Please try again in a few minutes. If you're the owner of this website Check your DNS Settings. A 523 error means that Cloudflare could not reach your host web server. The most common cause is that your DNS settings are incorrect. Please contact your hosting provider to confirm your origin IP and then make sure the correct IP is listed for your A record in your Cloudflare DNS Settings page. Additional troubleshooting information here. Cloudflare Ray ID 7d82ab279e3e0a4f • Your IP • Performance & security by Cloudflare NU Online Jombang, Sebuah film berjudul Dua Garis Biru hasil garapan sutradara Retna Ginanti S. Noer yang sukses rilis di seluruh bioskop Indonesia pada tanggal 11 Juli 2019 dengan durasi waktu 113 menit. Film ini cukup meninggalkan bekas mendalam bagi para penontonnya. Mengapa? Film yang menceritakan tentang kehamilan dini seorang gadis bernama Dara ini, berhasil memunculkan rasa pilu dalam setiap adegan dan dialog yang dimunculkan. Perasaan penonton mulai diuji ketika tokoh Dara dan Bima harus mengalami pergulatan batin dalam menyambut buah hati dan resminya mereka sebagai orang tua di usia yang masih sangat dini. Film yang dibintangi oleh Angga Aldi Yunanda sebagai Bima dengan lawan mainnya Adhisty Zara yang berperan sebagai Dara ini cukup bisa mengaduk hati penonton. Mereka dikisahkan sebagai sepasang remaja yang duduk di bangku SMA dengan kisah percintaan yang dipenuhi dengan canda, tawa serta romansa anak sekolahan. Uniknya, kisah cinta yang didukung teman serta keluarga ini justru menuai konflik akibat hubungan yang terlampau bebas. Suatu kali, Dara mengajak Bima untuk berkunjung ke rumahnya. Tadinya mereka hanya bermain dan bersenda gurau. Namun, situasi rumah yang sepi dan keberadaan mereka di kamar membuat keduanya dilanda kasmaran. Singkatnya, Dara mengalami gejala hamil dan Bima pun mencoba untuk membelikan Dara sebuah testpack, hasilnya jelas dua garis. Dara positif hamil. Kelebihan Film Film berjudul Dua Garis Biru ini menjelaskan tentang bagaimana sex education sangat penting diberikan pada anak sekolah, khususnya usia remaja. Dua Garis Biru ini juga dapat menjadi wadah untuk berdiskusi tentang pernikahan dini yang masih dianggap tabu oleh masyarakat Indonesia. Dengan melihat film ini, orang tua bisa mulai mengajak anak mereka berdiskusi tentang bahaya pergaulan bebas dan pentingnya menjaga diri. Selain itu, karena dikemas apik di genre romantic comedy, film ini bisa mengundang gelak tawa penonton sekaligus menguras emosi. Film ini menjelaskan tentang mengapa seks bebas itu dilarang. Selain dilarang dari segi agama, seks bebas juga tidak akan menguntungkan kedua belah pihak. Baik dari sisi laki-laki maupun perempuan akan dirugikan. Adanya kritik sosial yang diarahkan kepada keluarga Bima yang berasal dari keluarga agamis, seolah menjelaskan bahwa nilai agama saja tidak cukup untuk membuat remaja menjauhi zina. Saran Film ini sangat baik untuk ditonton oleh kalangan remaja misalnya seperti para pelajar yang berusia sekitar 15-18 tahun. Terlebih lagi untuk orang dewasa ataupun orang tua. Terdapat banyak adegan dalam film yang dapat dijadikan panutan bagi semua orang, seperti sex education dan cara memberikan solusi atau saran bagi anak-anak agar terhindar dari namanya hamil di luar nikah. Diharapkan semua adegan tersebut dapat dijadikan sebagai pembelajaran dan ditelaah mana hal yang baik untuk dilakukan dan hal yang tidak baik. Identitas Film Judul Dua Garis Biru Tanggal rilis 11 Juli 2019 Indonesia Sutradara Ginatri S. Noer Penghargaan Festival Film Bandung untuk Film Bioskop Terpuji, lainnya Produser Chand Parwez Servia, Fiaz Servia Skenario Ginatri S. Noer Perusahaan produksi Kharisma Starvision Plus, Wahana Kreator Oleh Zahrotusshafa Isnaini Siswa Kelas XI IPS3 Program Unggulan MAN 3 Jombang Resensi Novel Dua Garis Biru DUA GARIS BIRU Judul Dua Garis Biru Pengarang Lucia Priandarini dan Gina S. Noer Penerbit Gramedia Pustaka Utama Tahun 2019 Jumlah 208 halaman Via gramediadigital Novel ini diadaptasi dari naskah skenario yang ditulis oleh Gina S. Noer dan difilmkan dengan judul yang sama. Berangkat dari rasa penasaranku pada film ini, aku baca novelnya. Yang membuat penasaran adalah mengapa film ini begitu kontroversial? Banyak yang bilang menjerumuskan? Benarkah? Berhubung saya belum menonton filmnya, saya hanya akan mereview novelnya. Novel ini bercerita tentang sepasang kekasih, Bima dan Dara. Dari segi penamaan, penulis menyelipkan bahwa di sekolah pasti selalu ada Bima’ laki-laki yang bandel dan Dara’ perempuan yang cerdas. Keduanya sedang kasmaran. Saking kasmarannya, mereka malah melanggar batas dan membuat Dara hamil. Yang melanggar akan dihukum bukan? Begitu juga dengan Bima dan Dara di novel ini. Mereka mendapat sanksi sosial, mulai dari DO, dibicarakan tetangga Bima, disindir, bahkan dibuang oleh keluarga sendiri. Rencana Dara kuliah di Korea pun kandas. Menjelang akhir cerita, saya dibuat bingung siapa yang akan mengasuh Adam. Karena ada tarik ulur antara mau diberikan pada tantenya Dara atau akan diurus oleh Dara-Bima. Dan akhir ceritanya cukup mengejutkan dan membuat pikiran saya bekerja untuk melanjutkan ceritanya. Mengenai kesalahan Bima dan Dara memang besar, tapi novel ini tidak terkesan menggurui dan mengatakan bahwa mereka salah. Tapi penulis justru mendeskripsikan apa yang terjadi, kekecewaan keluarga, bahkan sampai perasaan bersalah mereka. Sampai pembaca yang menyimpulkan sendiri, “Wah, emang gak bener.” Kalau kata dosen Bapak Aprinus Salam, jika menulis sesuatu dengan menyelipkan perasaan kita sebagai penulis itu tandanya masih harus belajar. Justru kalau hasil tulisan itu membuat pembaca juga merasakan hal yang sama dan benar-benar berdecak kagum atau kesal, itu baru berhasil. Dan, kupikir novel ini berhasil membuat pembaca memetik pelajarannya. Kembali ke persoalan menjerumuskan, apakah novel ini demikian? Kupikir tidak. Karena penulis menuliskan cerita yang bersifat kausalitas ada hubungan sebab akibat. Karena fungsi sastra juga sebagai media pembelajaran. Novel ini kurekomendasikan untuk para remaja, apalagi yang pacaran. Perlu diingat bahwa cinta itu menjaga, bukan untuk merusak. Tidak mau kan rencana yang sudah kalian susun menjadi berantakan?

resensi novel dua garis biru